Pengetahuan
tentang masalah riba merupakan hal yang penting untuk kita ketahui, supaya dalam bermua’malah
yang biasa kita lakukan sehari-hari tidak terjerumus ke dalam kategori riba
yang diharamkan oleh Allah Swt. Karena ancaman Allah tidak hanya ditunjukkan
bagi pelaku riba saja, melainkan juga bagi setiap orang yang berperan dan
berhubungan dengan riba tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis Nabi
Saw. “ Rasulullah saw. melaknat orang-orang yang makan barang riba dan yang
mewakilinya, penulis dan dua orang saksinya. Beliau bersabda : mereka itu sama
saja.”
Pada
kesempatan ini penulis akan mengutip keterangan tentang masalah riba dan
macam-macamnya, dengan harapan mudah-mudahan setelah mengetahui masalah
ini kita akan terhindar dari lingkaran riba, sehingga kita selamat dari laknat dan ancaman
Allah Swt.
Riba yang
sudah disepakati haramnya adalah riba yang mengandung Ziadah (tambahan/kelebihan)
yang berlaku pada zaman jahiliyah yang disebut juga dengan riba Nasi’ah. Riba
Jahiliyah atau riba Nasi’ah ini adalah bentuk riba yang telah diterangkan
dengan jelas di dalam al-Qur’an, bahkan sudah diterangkan juga dalam kitab
Injil, Tauret dan kitab-kitab lainnya. Sedangkan yang empat macam lagi dijelaskan dalam Hadist
Nabi Saw. Yaitu Riba fadlin, Qordlu, Nasa’ dan Riba Yad.
Adapun yang
dimaksud dengan riba yang haram adalah suatu aqad (transaksi) yang terdapat
dalam bentuk menghutangkan dan dalam menukarkan barang ribawi (emas,
perak dan makanan) baik yang
mengandung unsur ziadah (tambahan) maupun tidak. Bentuk riba yang mengandung unsur
ziadah (tambahan) meliputi riba Nasi’ah
(Jahiliyah), riba Qordu dan riba Fadhlin. Sedangkan bentuk riba yang tidak
mengandung ziadah (tambahan) adalah riba Yad dan riba Nasa’.
Secara umum
jika dilihat dari hukumnya riba terbagi atas dua macam, yaitu riba yang halal
dan riba yang haram. Adapun riba yang halal adalah riba sebagaimana yang
terdapat dalam firman Allah Swt. Qs. Ar-Rum : 39 Artinya : “ Apa yang kamu telah
berikan dari pemberian dengan mengharapkan ingin mendapat balasan yang lebih
besar pada harta orang lain, maka itu tidak akan menjadi besar pahalanya
dihadapan Allah.” Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir menjelaskan bahwa riba
yang halal adalah seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan harapan
mendapatkan balasan yang lebih besar dari orang tersebut. Pemberian tersebut
dihadapan Allah tidak ada nilai pahalanya, akan tetapi sekalipun demikian
perbuatan tersebut dibolehkan.
Mengenai hal
ini, sebagaimana telah dijelaskan dalam Tafsir Jamal : 393.
فثبت انّ الرّبا قسمان قسم حلال وقسم حرام
Yang artinya
: Bahwa riba itu ada dua bagian ada yang halal dan ada yang haram.
Sedangkan riba
yang haram sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt dalam Qs. An-Nisa. Yang
artinya : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Yang
dimaksud riba yang haram menurut mazhab Imam Syafi’I adalah akad tertentu yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Baik akad tersebut yang mengandung ziadah
(tambahan) ataupun tidak, baik dalam bentuk menghutangkan atau menukarkan barang ribawi (emas, perak dan makanan).
Riba yang
hukumnya haram ada lima macam, yaitu :
1. Riba
Nasi’ah
Riba ini
sebagaimana yang diharamkan Allah dalam Qs. An-Nisa: .
Menurut ahli tafsir berdasarkan ayat
tersebut Allah telah mengharamkan bentuk riba yang berlaku pada zaman
Jahiliyah, yang disebut juga dengan riba Nasi’ah. Yaitu riba yang dalam
perakteknya orang yang memberi hutang mensyaratkan kepada orang yang
menghutangya, ketika sudah jatuh tempo pembayaran orang yang berhutang
harus memilih antara melunasi
hutangnya atau diberi tempo lagi dengan membayar dua kali lipat, seperti
hutang seribu menjadi dua ribu. Dengan demikian riba Jahiliyah
(Nasi’ah) adalah
bentuk riba yang memaksa dan memeras orang yang berhutang. Sehingga
orang yang
berhutang merasa sangat berat dan tertekan, lebih-lebih jika yang
berhutang itu
adalah orang susah.
2. Riba Qordlu
Menurut
mazhab Imam Syafi’I riba Qordlu adalah orang yang menghutangkan mensyaratkan
manfaat kepada orang yang menghutangnya, baik merupakan ziadah (tambahan) dari
pokok hutangnya maupun tidak, serta syarat manfaat tersebut disebutkan pada
saat transaksi (akad). Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw. :
كلّ قرض جرّ نفعا فهو ربا
Maksud hadits tersebut menurut ulama mazhab Imam Syafi’i
adalah setiap pinjaman dalam bentuk Qordlu yang menggunakan syarat, menarik
kemanfaatan bagi yang menghutangkannya dan syarat-syaratnya disebutkan pada
waktu akad, maka itu disebut riba Qordlu.
Dengan demikian, jika syarat-syarat tersebut tidak disebutkan pada
waktu akad (transaksi) maka hal itu tidak termasuk riba Qordu. Seperti sebelum melakukan
akad ada kesepakatan terlebih dahulu antara orang yang menghutang dengan orang
yang menghutangkan untuk mengadaan keuntungan/manfaat. Akan tetapi syaratnya
tidak boleh ada unsur pemerasan, curang dan paksaan. Keuntungan atau manfaat
itu bisa dijadikan sebagai hadiah, hibah atau shodaqoh kepada orang yang
memberi hutang. Mengenai hal ini sebagaimana diterangkan dalam kitab Fathul
Mu’in: 23 juz : 3
Dalam
kitab tersebut juga dijelaskan, bahwa menghailah
riba (mencari jalan lain supaya tidak masuk ke dalam kategori riba)
dalam mazhab Imam Syafi’i itu hukumnya makruh. Oleh karenanya, apabila
kita
akan meminjam uang sementara kebiasaan ditempat pinjaman tersebut ada
bunganya,
maka kelebihan atau bunga tersebut
jangan disebutkan pada waktu transaksi (akad) nya, kelebihan/bunga tersebut
kita jadikan sebagai hadiah atau shodaqoh bagi pemberi hutang. Namun jika tidak dihailah, seperti
kelebihan/bunganya disebutkan pada saat transaksi maka itu hukumnya haram dan
berdosa. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Ziyad dalam Kitab
Fathul Mu’in.
3. Riba
Fadlin
Riba Fadlin
adalah menukarkan barang ribawi (emas, perak, makanan) yang sejenis dengan
ukuran yang tidak sama. Seperti menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak,
beras dengan beras. Contohnya menukarkan 10 gram emas dengan 12 gram emas, atau
1 Kg beras dengan 1,5 Kg beras. Perbuatan
tersebut termasuk riba dan hukumnya haram. Akan tetapi dalam keadaan sangat
membutuhkan, ada jalan keluarnya supaya terhindar dari hukum haram, yaitu
dengan cara saling memberi atau saling meminjamkan lalu kedua belah pihak saling
membebaskan. Menghailah seperti ini menurut Mazhab Imam Syafi’i itu boleh
dilakukan.
4.Riba Nasa’
Riba Nasa’
yaitu menjual barang ribawi dengan cara dihutangkan. Seperti menjual emas
dengan emas, perak dengan perak, kemudian proses pembayarannya tidak kontan.
5. Riba Yad
Riba Yad
yaitu menjual barang ribawi dengan cara tidak saling menyerah terimakan.
Seperti menjual emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras akan
tetapi tidak saling menyerahterimakan barangnya, lalu keduanya berpisah pada
saat belum terjadi serah terima.
Mengenai ketiga jenis riba ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi Saw
:
لا تبيعوا الذّهب بالذّهب ولا الورق بالورق ولا البرّ بالبرّ ولا
التّمر بالتّمر ولا الملح بالملح الاّ سواء بسواء عينا بعين يدا بيد فاذا اختلفت
هذه الاصناف فبيع كيف شءتم اذا كان يدا بيد
“Kamu tidak boleh
menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, kecuali dengan timbangan yang sama, dengan
cara kontan dan saling menyerahterimakan barangnya. Apabila jenisnya berbeda maka
boleh berbeda ukurannya akan tetapi harus kontan dan saling serah terima.”
Setelah kita
mengetahui penjelasan tentang macam-macam riba, kemudian yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah, apakah bunga bank konvensional itu termasuk kepada
kategori riba atau bukan ? . Sebelum menjawab pertanyaan ini, secara singkat
kami akan beri gambaran terlebih dahulu mengenai perbankan. Yang dimaksud
dengan bank sesuai undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Orang yang menyimpan uangnya di bank diberikan keuntungan
oleh bank itu yang disebut dengan bunga bank berdasarkan persentase uang yang
disimpannya. Bank biasanya hanya memberikan pinjaman kepada nasabah untuk
keperluan produktif seperti modal berdagang, pengembangan usaha dan lain-lain.
Namun ada juga pinjaman atau kredit yang diberikan bank untuk keperluan
konsumtif seperti kredit pemilikan rumah (KPR). Uang simpanan nasabah di dalam
suatu bank tidak akan didiamkan begitu saja tetapi uang itu akan dijalankan
untuk melancarkan perekonomian atau melaksanakan pembangunan. Dari keuntungan
bank inilah sebagian diberikan kepada nasabah sebagai bunga bank. (Pendidikan
Agama Islam, Fiqih untuk Madrasah Tsanawiyah : 34).
Tentang
permasalahan bunga bank ini para ahli berbeda pendapat. Secara garis besar terdapat
tiga pendapat yang berbeda yaitu:
Haram, halal dan syubhat (belum jelas halal dan haramnya). Kita tidak
perlu
mempermasalahkan perbedaan tersebut, karena masalah bunga bank itu ada
dalam
tataran hukum fiqih. Artinya masalah ini merupakan masalah khilafiyyah,
seperti
halnya mengenai jumlah rakaat dalam sholat tarawih, ada yang berpendapat
8 rakaat, 20 rakaan, bahkan ada yang lebih dari itu. Perbedaan tersebut
seyoyanya kita sikapi dengan lapang dada dan
jangan sampai menjadikan perpecahan diantara kita ummat Islam. Karena sesungguhnya
perbedaan itu merupakan rahmat (keni’matan) buat kita. Sebagaimana sabda Nabi
Saw : اختلاف امّتي رحمة
Untuk lebih jelasnya berikut kami paparkan
pendapat-pendapat para ahli tentang penentuan hukum bunga bank konvensional.
PENDAPAT
YANG MENGHARAMKAN BANK KONVENSIONAL
Jumhur
(mayoritas) ulama mengharamkan bank konvensional karena adanya praktek bunga
bank yang secara prinsip sama persis dengan riba. Baik itu bunga pinjaman,
bunga tabungan atau bunga deposito.
PRAKTIK
PERBANKAN YANG DIHARAMKAN
Praktik
perbankan konvensional yang haram adalah (a) menerima tabungan dengan imbalan
bunga, yang kemudian dipakai untuk dana kredit perbankan dengan bunga berlipat.
(b) memberikan kredit dengan bunga yang ditentukan; (c) segala praktik hutang
piutang yang mensyaratkan bunga.
Bagi ulama
yang mengharamkan sistem perbankan nasional, bunga bank adalah riba. Dan karena
itu haram.
PRAKTIK BANK
KONVENSIONAL YANG HALAL
Namun
demikian, pendapat yang mengharamkan tidak menafikan adanya sejumlah layanan
perbankan yang halal seperti: (a) layanan transfer uang dari satu tempat ke
tempat lain dengan ongkos pengiriman; (b) menerbitkan kartu ATM; (c) menyewakan
lemari besi; (d) mempermudah hubungan antarnegara.
ULAMA DAN
LEMBAGA YANG MENGHARAMKAN BANK KONVENSIONAL
1. Pertemuan
150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385
H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala
keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang
diharamkan termasuk bunga bank.
2. Majma’al
Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal
10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
3. Majma’
Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di
Makkah, 12-19 Rajab 1406
4. Keputusan
Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan
Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
6. Majma’ul
Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
7. Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang
menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah.
8. Keputusan
Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa
sistem perbankan konvensional tidak sesuai dengan kaidah Islam.
9. Keputusan
Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung.
10.
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
11.
Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004,
28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
HUKUM
BEKERJA DAN GAJI PEGAWAI BANK KONVENSIONAL
Menurut
fatwa Syekh Jad al-Haq, salah satu Mufti Mesir, memperoleh gaji/honorarium dari
bank-bank tersebut dapat dibenarkan, bahkan kendati bank-bank konvensiobnal itu
melakukan transaksi riba. Bekerja dan memperoleh gaji di sana pun masih dapat
dibenarkan, selama bank tersebut mempunyai aktivitas lain yang sifatnya halal.
Yusuf
Qaradhawi termasuk ulama yang mengharamkan bank namun dalam soal gaji pegawai
bank ia menyatakan bahwa apabila pegawai tersebut bekerja karena tidak ada
pekerjaan di tempat lain maka ia dalam kondisi darurat. Dalam Islam, kondisi
darurat menghalalkan perkara yang asalnya haram. Kebutuhan hidup termasuk
kondisi darurat. Dalam konteks ini, maka pekerjaannya di bank hukumnya boleh. Begitu
juga boleh mengikuti pendapat ulama terpercaya yang menghalalkan bank
konvensional.
Teks asli
sebagai berikut:
إذا كان السائل قد عمل في البنك الربوي
لأنه لم يجد عملا آخر يتعيش منه، واضطر للعمل فيه، فإن الضرورات تبيح المحظورات، والحاجة
تنزل منزلة الضرورة، وبهذا يكون عمله في البنك مباحا له لظروفه الخاصة، وكذلك إذا عمل
في البنك بناء على فتوى من عالم ثقة في علمه ودينه بجواز عمله في البنك الربوي مرحليا
ليكتسب منه الخبرة، ثم يوظفها بعد ذلك في خدمة المصارف الإسلامية.
(Sumber: http://webmail.qaradawi.net/fatawaahkam/30/1766.html)
PENDAPAT
HALALNYA BANK KONVENSIONAL
Beberapa
alasan para ulama ahli fiqih yang menghalalkan bank konvensional adalah (a)
bunga bank bukanlah riba yang dilarang seperti yang disebut dalam Quran dan
hadits; (b) riba adalah bunga yang berlipat ganda; sedang bunga pinjaman bank
tidaklah demikian.
ULAMA DAN
LEMBAGA YANG MENGHALALKAN BANK KONVENSIONAL
1. Syekh
Al-Azhar Sayyid Muhammad Thanthawi menilai bunga bank bukan riba dan halal.
2. Dr.
Ibrahim Abdullah an-Nashir. dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan
3. Keputusan
Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002 membahas soal bank konvensional.
4. A.Hasan
Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu
halal.
5. Dr.Alwi Shihab
dalam wawancaranya dengan Metro TV berpendapat bunga bank bukanlah riba dan
karena itu halal.
6. KH. Ahmad
Makky (pimpinan Pon-Pes As-Salafiyyah Sukabumi). Beliau berpendapat bahwa bunga
bank konvensional dan Usaha kerjasama itu hukumnya halal dan tidak termasuk
kepada kategori riba. Sebagaimana yang dijelaskan dalam karyanya yang berjudul
: "Perspektif Ilmiyah Tentang Halalnya Bunga Bank."
ALSAN ULAMA
DAN LEMBAGA YANG MENGHALALKAN BANK KONVENSIONAL
1. Menurut
Sayyid Muhammad Thanthawi bank konvensional/deposito itu halal dalam berbagai
bentuknya walau dengan penentuan bunga terlebih dahulu.
Menurutnya,
di samping penentuan tersebut menghalangi adanya perselisihan atau penipuan di
kemudian hari, juga karena penetuan bunga dilakukan setelah perhitungan yang
teliti, dan terlaksana antara nasabah dengan bank atas dasar kerelaan mereka.
2. Dr.
Ibrahim Abdullah an-Nashir mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak
mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan
tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada
perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini
memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an
yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk
terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman
riba.”
3. Isi
keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002:
"Mereka
yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan
tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya
dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang
diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang
disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta
itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran),
karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang
melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu,
selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut."
Allah
berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di
antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar
kerelaan di antara kamu. (QS. an-Nisa': 29).
Kesimpulannya,
penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta
mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam
transaksi itu.
Ini termasuk
dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk
persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan
atau penggantian.
4. Kata A.
Hasan Bangil bunga bank itu halal. karena tidak ada unsur lipat gandanya.
5. Menurut
keyakinan dan pendapat KH. Ahmad Makky bahwa bunga bank itu adalah halal. Hal
ini berdasarkan dua dalil, yaitu berdasarkan dalil ‘Aqly dan dalil Naqly.
A. Dalil
Aqly tentang halalnya bunga bank, yaitu :
1. Bunga bank itu halal ( bukan riba ). Alasannya jika bunga
bank itu diharamkan seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian
dalam hati orang muslim yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “
Allah menanamkan rasa kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran,
kefasikan dan kedurhakaan.” Sedangkan
kebencian terhadap bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, maka bunga
bank itu tidak haram (bukan riba).
2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah
dimusnahkan. Karena Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek
riba setelah 40 tahun. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan
memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” Dan firman Allah yang artinya : “ Jka
kamu tidak melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya memeranginya.” Sedangkan realitas yang terjadi
ternyata musnahnya bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank
itu tidak haram (bukan riba).
3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik
terhadap bunga bank, sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank
Konvensional. Apabila ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang
baik-baik, maka itu artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana
sabda Rasul Saw. Yang artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim
yang baik-baik, maka menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu
tidak haram (bukan riba).
4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah
dijauhkan dari Allah ( sudah tidak melakukan sholat ) karena Rasul Saw.
bersabda yang artinya : “ Rasul Allah menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba
baik yang membelanjakannya, mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari
rahmat Allah Swt.” Akan tetapi terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu
tidak terwujud, mereka melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh
Allah Swt. Dengan demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan
riba).
B. Dalil
Naqly
Dikutif dari
kitab fuqoha seperti yang terdapat dalam kitab I’anatuth tholibin : 99 zuz: 3.
Yang artinya
: “ Diperbolehkan Qirod (usaha kerja sama), yaitu mengadakan perjanjian antara
dua belah pihak dimana pihak ke satu menyerahkan sejumlah modal kepada pihak ke
dua untuk di usahakan agar sama-sama mendapat keuntungan.” Qirod ini dalam
istilah perbankan disebut dengan kredit produktif.
Dalam kamus
besar dikatakan bahwa bunga bank itu disebut bunga pinjaman, yang pengertiannya
adalah Sejumlah uang yang harus diberikan kepada pemilik modal dalam usaha
kerja sama yang dikenal dengan kredit, yaitu perjanjian antara dua belah pihak
yaitu antara pemilik modal (dalam hal ini bank) dengan pengusaha, dimana
pemilik modal menyerahkan sejumlah uang (modal) kepada pengusaha untuk
dikembangkan agar sama-sama mendapat keuntungan. Usaha kerja sama ini dalam
istilah fuqoha (ulama ahli fiqih) disebut Qirod. Hukum qirod (usaha kerja sama)
dalam syari’at islam adalah halal berdasarkan ijma Ulama. Dengan demikian
Ziadah (tambahan) atau dalam istilah perbankan disebut bunga yang terdapat dalam
kredit produktif itu bukan termasuk riba, karena riba hanya terdapat dalam
qordu, jual beli barang ribawi dan hibah. Sedangkan dalam qirod (usahakerja
sama) atau dalam istilah perbankan disebut kredit produktif itu tidak ada riba.
Melainkan ziadah (tambahan) yang terdapat dalam kredit produktif adalah
keuntungan dari hasil usaha bersama. Karena ziadah atau bunga yang telah
disepakati haramnya itu adalah bunga uang, yang pengertiannya adalah sejumlah
uang yang harus diberikan kepada pemberi hutang. Sedangkan bunga yang terdapat
pada bank konvensional adalah bunga pinjaman, yang pengertiannya adalah
sejumlah uang yang harus diberikan kepada pemilik modal dalam usaha kerja sama
(qirod). Mengenai bunga pinjaman ini sudah disepakati tentang halalnya.
Kemudian
mengenai kredit konsumtif yang berlaku dalam mu’amalah murobahah (saling
menguntungkan), yaitu hubungan antara pemilik modal dengan orang yang akan
mendapatkan keuntungan sehingga mampu mengembalikan modal beserta
keuntungannya. Yaitu dengan mendapatkan
bantuan dari bank, orang itu akan mendapat keuntungan seperti rumah murah atau
ongkos naik haji. Ziadah (tambahan) atau bunga yang terdapat dalam kredit
konsumtif juga disebut dengan bunga pinjaman, karena termasuk sejumlah uang
yang harus dikembalikan kepada pemilik modal. Praktek seperti ini hukumnya sama
diperbolehkan. Dan tentang kehalannya diperkuat oleh keputusan musyawarah di
Darul Ifta Mesir. (Kh. Ahmad Makky dalam Perspektif ilmiyah tentang halalnya
Bunga Bank : 218-219). Begitu juga dengan bunga depositu dan tabungan semuanya
dibolehkan, Dengan niat untuk meminjamkan atau menitipkan dan mengijinkan pula uang
tersebut untuk dipergunakan, asalkan ketika kita membutuhkannya, uang tersebut
ada. Atau dengan niat memberikan modal kepada bank dengan mengharapkan agar
kita mendapat keuntungan. Karena menurut pendapat beliau yang diperkuat oleh hasil musyawarah Darul
Ifta di Mesir, hal terebut tidak termasuk kepada kategori riba. Untuk lebih
jelasnya kami sarankan untuk membaca sumbernya yaitu dalam : “Perspektif Ilmiyah
Tentang Halalnya Bunga Bank” yang disusun oleh guru kami yakni KH. Ahmad
Makky Pimpinan Pon-Pes Asslafiyyah Sukabumi.
KESIMPULAN
HUKUM BANK KONVENSIONAL DALAM ISLAM
Mayoritas
ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional
adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan
perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun
demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan
karena itu halal hukumnya.
Lalu bagaimana sikap kita setelah mengetahui perbedaan
pendapat tentang hukum bunga bank
konvensional tersebut ? Kita
bisa memilih salah satu dari pendapat di atas, akan
tetapi tentu harus berdasarkan ilmunya (mengetahui dasarnya) dan juga harus konsisten. Artinya
jika memilih pendapat bahwa bank konvensional itu haram, maka bagi orang
tersebut jangan pernah mendekati bank. Sementara untuk zaman sekarang apakah mungkin hal itu bisa dilakukan ? sementara bank itu
sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa terpisahkan, bahkan untuk naik haji
saja pasti kita harus berhubungan dengan pihak bank. Oleh karena itu, kenapa kita harus
mempersulit diri ? Bukankah ada pendapat
yang menghalalkan bunga bank konvensional ? Justru dengan adanya perbedaan
pendapat ini menjadi sebuah rahmat (keni’matan) buat kita. Namun demikian, keputusan
terakhir terserah kepada pertimbangan dan keyakinan kita masing-masing.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bagi
seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam
posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi
praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat
memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang
menghalalkannya.
Demikianlah
pembahasan singkat tentang riba dan macam-macam riba serta fatwa hukum bunga bank konvensional.
Semoga ada manfaatnya. Amin
والله اعلم بالصّواب
Referensi :
1. Kh. Ahmad Makky dalam Perspektif Ilmiyah Tentang Halalnya Bunga Bank
2. Artikel Tentang Kontroversi Hukum Bunga Bank Oleh Pon-Pes Al-Khoirot Jawa Timur
3. Pendidikan Agama Islam Untuk Mts dan Ma.