Pengikut

Minggu, 18 September 2016



بسم الله الرّحمن الرّحيم

Pengetahuan tentang masalah riba merupakan hal yang penting untuk kita ketahui, supaya dalam bermua’malah yang biasa kita lakukan sehari-hari tidak terjerumus ke dalam kategori riba yang diharamkan oleh Allah Swt. Karena ancaman Allah tidak hanya ditunjukkan bagi pelaku riba saja, melainkan juga bagi setiap orang yang berperan dan berhubungan dengan riba tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis Nabi Saw. “ Rasulullah saw. melaknat orang-orang yang makan barang riba dan yang mewakilinya, penulis dan dua orang saksinya. Beliau bersabda : mereka itu sama saja.”
Pada kesempatan ini penulis akan mengutip keterangan tentang masalah riba dan macam-macamnya, dengan harapan mudah-mudahan setelah mengetahui masalah ini kita akan terhindar dari lingkaran riba, sehingga kita selamat dari laknat dan ancaman Allah Swt.
Riba yang sudah disepakati haramnya adalah riba yang mengandung Ziadah (tambahan/kelebihan) yang berlaku pada zaman jahiliyah yang disebut juga dengan riba Nasi’ah. Riba Jahiliyah atau riba Nasi’ah ini adalah bentuk riba yang telah diterangkan dengan jelas di dalam al-Qur’an, bahkan sudah diterangkan juga dalam kitab Injil, Tauret dan kitab-kitab lainnya. Sedangkan yang  empat macam lagi dijelaskan dalam Hadist Nabi Saw. Yaitu Riba fadlin, Qordlu, Nasa’ dan Riba Yad. 
Adapun yang dimaksud dengan riba yang haram adalah suatu aqad (transaksi) yang terdapat dalam bentuk menghutangkan dan dalam menukarkan barang ribawi (emas, perak dan makanan) baik yang mengandung unsur ziadah (tambahan) maupun tidak. Bentuk riba yang mengandung unsur  ziadah (tambahan) meliputi riba Nasi’ah (Jahiliyah), riba Qordu dan riba Fadhlin. Sedangkan bentuk riba yang tidak mengandung ziadah (tambahan) adalah riba Yad dan riba Nasa’.
Secara umum jika dilihat dari hukumnya riba terbagi atas dua macam, yaitu riba yang halal dan riba yang haram. Adapun riba yang halal adalah riba sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Swt. Qs. Ar-Rum : 39 Artinya : “ Apa yang kamu telah berikan dari pemberian dengan mengharapkan ingin mendapat balasan yang lebih besar pada harta orang lain, maka itu tidak akan menjadi besar pahalanya dihadapan Allah.” Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir menjelaskan bahwa riba yang halal adalah seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih besar dari orang tersebut. Pemberian tersebut dihadapan Allah tidak ada nilai pahalanya, akan tetapi sekalipun demikian perbuatan tersebut dibolehkan. 
Mengenai hal ini, sebagaimana telah dijelaskan dalam Tafsir Jamal : 393. 
فثبت انّ الرّبا قسمان قسم حلال وقسم حرام
Yang artinya : Bahwa riba itu ada dua bagian ada yang halal dan ada yang haram.
Sedangkan riba yang haram sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt dalam Qs. An-Nisa. Yang artinya : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Yang dimaksud riba yang haram menurut mazhab Imam Syafi’I adalah akad tertentu yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Baik akad tersebut yang mengandung ziadah (tambahan) ataupun tidak, baik dalam bentuk menghutangkan atau menukarkan barang ribawi (emas, perak dan makanan).
Riba yang hukumnya haram ada lima macam, yaitu :
1. Riba Nasi’ah
Riba ini sebagaimana yang diharamkan Allah dalam Qs. An-Nisa:     . Menurut ahli tafsir berdasarkan ayat tersebut Allah telah mengharamkan bentuk riba yang berlaku pada zaman Jahiliyah, yang disebut juga dengan riba Nasi’ah. Yaitu riba yang dalam perakteknya orang yang memberi hutang mensyaratkan kepada orang yang menghutangya, ketika sudah jatuh tempo pembayaran orang yang berhutang harus memilih antara melunasi hutangnya atau diberi tempo lagi dengan membayar dua kali lipat, seperti hutang seribu menjadi dua ribu. Dengan demikian riba Jahiliyah (Nasi’ah) adalah bentuk riba yang memaksa dan memeras orang yang berhutang. Sehingga orang yang berhutang merasa sangat berat dan tertekan, lebih-lebih jika yang berhutang itu adalah orang susah. 
2. Riba Qordlu
Menurut mazhab Imam Syafi’I riba Qordlu adalah orang yang menghutangkan mensyaratkan manfaat kepada orang yang menghutangnya, baik merupakan ziadah (tambahan) dari pokok hutangnya maupun tidak, serta syarat manfaat tersebut disebutkan pada saat transaksi (akad). Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw. :
كلّ قرض جرّ نفعا فهو ربا
Maksud hadits tersebut menurut ulama mazhab Imam Syafi’i adalah setiap pinjaman dalam bentuk Qordlu yang menggunakan syarat, menarik kemanfaatan bagi yang menghutangkannya dan syarat-syaratnya disebutkan pada waktu akad, maka itu disebut riba Qordlu.
Dengan demikian, jika syarat-syarat tersebut tidak disebutkan pada waktu akad (transaksi) maka hal itu tidak termasuk riba Qordu. Seperti sebelum melakukan akad ada kesepakatan terlebih dahulu antara orang yang menghutang dengan orang yang menghutangkan untuk mengadaan keuntungan/manfaat. Akan tetapi syaratnya tidak boleh ada unsur pemerasan, curang dan paksaan. Keuntungan atau manfaat itu bisa dijadikan sebagai hadiah, hibah atau shodaqoh kepada orang yang memberi hutang. Mengenai hal ini sebagaimana diterangkan dalam kitab Fathul Mu’in: 23 juz : 3
Dalam kitab tersebut juga dijelaskan, bahwa menghailah riba (mencari jalan lain supaya tidak masuk ke dalam kategori riba) dalam mazhab Imam Syafi’i itu hukumnya makruh. Oleh karenanya, apabila kita akan meminjam uang sementara kebiasaan ditempat pinjaman tersebut ada bunganya, maka kelebihan atau bunga tersebut jangan disebutkan pada waktu transaksi (akad) nya, kelebihan/bunga tersebut kita jadikan sebagai hadiah atau shodaqoh bagi pemberi hutang.  Namun jika tidak dihailah, seperti kelebihan/bunganya disebutkan pada saat transaksi maka itu hukumnya haram dan berdosa. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Ziyad dalam Kitab Fathul Mu’in. 
3. Riba Fadlin
Riba Fadlin adalah menukarkan barang ribawi (emas, perak, makanan) yang sejenis dengan ukuran yang tidak sama. Seperti menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras. Contohnya menukarkan 10 gram emas dengan 12 gram emas, atau 1 Kg beras dengan 1,5 Kg beras.  Perbuatan tersebut termasuk riba dan hukumnya haram. Akan tetapi dalam keadaan sangat membutuhkan, ada jalan keluarnya supaya terhindar dari hukum haram, yaitu dengan cara saling memberi atau saling meminjamkan  lalu kedua belah pihak saling membebaskan. Menghailah seperti ini menurut Mazhab Imam Syafi’i itu boleh dilakukan.
4.Riba Nasa’
Riba Nasa’ yaitu menjual barang ribawi dengan cara dihutangkan. Seperti menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kemudian proses pembayarannya tidak kontan.
5. Riba Yad
Riba Yad yaitu menjual barang ribawi dengan cara tidak saling menyerah terimakan. Seperti menjual emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras akan tetapi tidak saling menyerahterimakan barangnya, lalu keduanya berpisah pada saat  belum terjadi serah terima. Mengenai ketiga jenis riba ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi Saw :
لا تبيعوا الذّهب بالذّهب ولا الورق بالورق ولا البرّ بالبرّ ولا التّمر بالتّمر ولا الملح بالملح الاّ سواء بسواء عينا بعين يدا بيد فاذا اختلفت هذه الاصناف فبيع كيف شءتم اذا كان يدا بيد
“Kamu tidak boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali dengan timbangan yang sama, dengan cara kontan dan saling menyerahterimakan barangnya. Apabila jenisnya berbeda maka boleh berbeda ukurannya akan tetapi harus kontan dan saling serah terima.”
Setelah kita mengetahui penjelasan tentang macam-macam riba, kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah bunga bank konvensional itu termasuk kepada kategori riba atau bukan ? . Sebelum menjawab pertanyaan  ini, secara singkat kami akan beri gambaran terlebih dahulu mengenai perbankan. Yang dimaksud dengan bank sesuai undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Orang yang menyimpan uangnya di bank diberikan keuntungan oleh bank itu yang disebut dengan bunga bank berdasarkan persentase uang yang disimpannya. Bank biasanya hanya memberikan pinjaman kepada nasabah untuk keperluan produktif seperti modal berdagang, pengembangan usaha dan lain-lain. Namun ada juga pinjaman atau kredit yang diberikan bank untuk keperluan konsumtif seperti kredit pemilikan rumah (KPR). Uang simpanan nasabah di dalam suatu bank tidak akan didiamkan begitu saja tetapi uang itu akan dijalankan untuk melancarkan perekonomian atau melaksanakan pembangunan. Dari keuntungan bank inilah sebagian diberikan kepada nasabah sebagai bunga bank. (Pendidikan Agama Islam, Fiqih untuk Madrasah Tsanawiyah : 34). 
Tentang permasalahan bunga bank ini para ahli berbeda pendapat. Secara garis besar  terdapat tiga pendapat yang berbeda yaitu: Haram, halal dan syubhat (belum jelas halal dan haramnya). Kita tidak perlu mempermasalahkan perbedaan tersebut, karena masalah bunga bank itu ada dalam tataran hukum fiqih. Artinya masalah ini merupakan masalah khilafiyyah, seperti halnya mengenai jumlah rakaat dalam sholat tarawih, ada yang berpendapat 8 rakaat, 20 rakaan, bahkan ada yang lebih dari itu. Perbedaan tersebut seyoyanya kita sikapi dengan lapang dada dan  jangan sampai menjadikan perpecahan diantara kita ummat Islam. Karena sesungguhnya perbedaan itu merupakan rahmat (keni’matan) buat kita. Sebagaimana sabda Nabi Sawاختلاف امّتي رحمة
Untuk lebih jelasnya berikut kami paparkan pendapat-pendapat para ahli tentang penentuan hukum bunga bank konvensional.
PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN BANK KONVENSIONAL
Jumhur (mayoritas) ulama mengharamkan bank konvensional karena adanya praktek bunga bank yang secara prinsip sama persis dengan riba. Baik itu bunga pinjaman, bunga tabungan atau bunga deposito.
PRAKTIK PERBANKAN YANG DIHARAMKAN
Praktik perbankan konvensional yang haram adalah (a) menerima tabungan dengan imbalan bunga, yang kemudian dipakai untuk dana kredit perbankan dengan bunga berlipat. (b) memberikan kredit dengan bunga yang ditentukan; (c) segala praktik hutang piutang yang mensyaratkan bunga.
Bagi ulama yang mengharamkan sistem perbankan nasional, bunga bank adalah riba. Dan karena itu haram.
PRAKTIK BANK KONVENSIONAL YANG HALAL
Namun demikian, pendapat yang mengharamkan tidak menafikan adanya sejumlah layanan perbankan yang halal seperti: (a) layanan transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman; (b) menerbitkan kartu ATM; (c) menyewakan lemari besi; (d) mempermudah hubungan antarnegara.
ULAMA DAN LEMBAGA YANG MENGHARAMKAN BANK KONVENSIONAL
1. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.
2. Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
3. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406
4. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
6. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
7. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah.
8. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa sistem perbankan konvensional tidak sesuai dengan kaidah Islam.
9. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung.
10. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
11. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004, 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
HUKUM BEKERJA DAN GAJI PEGAWAI BANK KONVENSIONAL
Menurut fatwa Syekh Jad al-Haq, salah satu Mufti Mesir, memperoleh gaji/honorarium dari bank-bank tersebut dapat dibenarkan, bahkan kendati bank-bank konvensiobnal itu melakukan transaksi riba. Bekerja dan memperoleh gaji di sana pun masih dapat dibenarkan, selama bank tersebut mempunyai aktivitas lain yang sifatnya halal.
Yusuf Qaradhawi termasuk ulama yang mengharamkan bank namun dalam soal gaji pegawai bank ia menyatakan bahwa apabila pegawai tersebut bekerja karena tidak ada pekerjaan di tempat lain maka ia dalam kondisi darurat. Dalam Islam, kondisi darurat menghalalkan perkara yang asalnya haram. Kebutuhan hidup termasuk kondisi darurat. Dalam konteks ini, maka pekerjaannya di bank hukumnya boleh. Begitu juga boleh mengikuti pendapat ulama terpercaya yang menghalalkan bank konvensional.
Teks asli sebagai berikut:
إذا كان السائل قد عمل في البنك الربوي لأنه لم يجد عملا آخر يتعيش منه، واضطر للعمل فيه، فإن الضرورات تبيح المحظورات، والحاجة تنزل منزلة الضرورة، وبهذا يكون عمله في البنك مباحا له لظروفه الخاصة، وكذلك إذا عمل في البنك بناء على فتوى من عالم ثقة في علمه ودينه بجواز عمله في البنك الربوي مرحليا ليكتسب منه الخبرة، ثم يوظفها بعد ذلك في خدمة المصارف الإسلامية.
(Sumber: http://webmail.qaradawi.net/fatawaahkam/30/1766.html)
PENDAPAT HALALNYA BANK KONVENSIONAL
Beberapa alasan para ulama ahli fiqih yang menghalalkan bank konvensional adalah (a) bunga bank bukanlah riba yang dilarang seperti yang disebut dalam Quran dan hadits; (b) riba adalah bunga yang berlipat ganda; sedang bunga pinjaman bank tidaklah demikian.
ULAMA DAN LEMBAGA YANG MENGHALALKAN BANK KONVENSIONAL
1. Syekh Al-Azhar Sayyid Muhammad Thanthawi menilai bunga bank bukan riba dan halal.
2. Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan
3. Keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002 membahas soal bank konvensional.
4. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal.
5. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV berpendapat bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal.
6. KH. Ahmad Makky (pimpinan Pon-Pes As-Salafiyyah Sukabumi). Beliau berpendapat bahwa bunga bank konvensional dan Usaha kerjasama itu hukumnya halal dan tidak termasuk kepada kategori riba. Sebagaimana yang dijelaskan dalam karyanya yang berjudul : "Perspektif Ilmiyah Tentang Halalnya Bunga Bank." 
ALSAN ULAMA DAN LEMBAGA YANG MENGHALALKAN BANK KONVENSIONAL
1. Menurut Sayyid Muhammad Thanthawi bank konvensional/deposito itu halal dalam berbagai bentuknya walau dengan penentuan bunga terlebih dahulu.
Menurutnya, di samping penentuan tersebut menghalangi adanya perselisihan atau penipuan di kemudian hari, juga karena penetuan bunga dilakukan setelah perhitungan yang teliti, dan terlaksana antara nasabah dengan bank atas dasar kerelaan mereka.
2. Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
3. Isi keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002:
"Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut."
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS. an-Nisa': 29).
Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu.
Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
4. Kata A. Hasan Bangil bunga bank itu halal. karena tidak ada unsur lipat gandanya.
5. Menurut keyakinan dan pendapat KH. Ahmad Makky bahwa bunga bank itu adalah halal. Hal ini berdasarkan dua dalil, yaitu berdasarkan dalil ‘Aqly dan dalil Naqly.
A. Dalil Aqly tentang halalnya bunga bank, yaitu :
1. Bunga bank itu halal ( bukan riba ). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan  kedurhakaan.” Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40 tahun. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” Dan firman Allah yang artinya : “ Jka kamu tidak melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya memeranginya.” Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank, sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah ( sudah tidak melakukan sholat ) karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “ Rasul Allah menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya, mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.” Akan tetapi terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba).
B. Dalil Naqly
Dikutif dari kitab fuqoha seperti yang terdapat dalam kitab I’anatuth tholibin : 99 zuz: 3.
Yang artinya : “ Diperbolehkan Qirod (usaha kerja sama), yaitu mengadakan perjanjian antara dua belah pihak dimana pihak ke satu menyerahkan sejumlah modal kepada pihak ke dua untuk di usahakan agar sama-sama mendapat keuntungan.” Qirod ini dalam istilah perbankan disebut dengan kredit produktif.
Dalam kamus besar dikatakan bahwa bunga bank itu disebut bunga pinjaman, yang pengertiannya adalah Sejumlah uang yang harus diberikan kepada pemilik modal dalam usaha kerja sama yang dikenal dengan kredit, yaitu perjanjian antara dua belah pihak yaitu antara pemilik modal (dalam hal ini bank) dengan pengusaha, dimana pemilik modal menyerahkan sejumlah uang (modal) kepada pengusaha untuk dikembangkan agar sama-sama mendapat keuntungan. Usaha kerja sama ini dalam istilah fuqoha (ulama ahli fiqih) disebut Qirod. Hukum qirod (usaha kerja sama) dalam syari’at islam adalah halal berdasarkan ijma Ulama. Dengan demikian Ziadah (tambahan) atau dalam istilah perbankan disebut bunga yang terdapat dalam kredit produktif itu bukan termasuk riba, karena riba hanya terdapat dalam qordu, jual beli barang ribawi dan hibah. Sedangkan dalam qirod (usahakerja sama) atau dalam istilah perbankan disebut kredit produktif itu tidak ada riba. Melainkan ziadah (tambahan) yang terdapat dalam kredit produktif adalah keuntungan dari hasil usaha bersama. Karena ziadah atau bunga yang telah disepakati haramnya itu adalah bunga uang, yang pengertiannya adalah sejumlah uang yang harus diberikan kepada pemberi hutang. Sedangkan bunga yang terdapat pada bank konvensional adalah bunga pinjaman, yang pengertiannya adalah sejumlah uang yang harus diberikan kepada pemilik modal dalam usaha kerja sama (qirod). Mengenai bunga pinjaman ini sudah disepakati tentang halalnya.
Kemudian mengenai kredit konsumtif yang berlaku dalam mu’amalah murobahah (saling menguntungkan), yaitu hubungan antara pemilik modal dengan orang yang akan mendapatkan keuntungan sehingga mampu mengembalikan modal beserta keuntungannya. Yaitu dengan  mendapatkan bantuan dari bank, orang itu akan mendapat keuntungan seperti rumah murah atau ongkos naik haji. Ziadah (tambahan) atau bunga yang terdapat dalam kredit konsumtif juga disebut dengan bunga pinjaman, karena termasuk sejumlah uang yang harus dikembalikan kepada pemilik modal. Praktek seperti ini hukumnya sama diperbolehkan. Dan tentang kehalannya diperkuat oleh keputusan musyawarah di Darul Ifta Mesir. (Kh. Ahmad Makky dalam Perspektif ilmiyah tentang halalnya Bunga Bank : 218-219). Begitu juga dengan bunga depositu dan tabungan semuanya dibolehkan, Dengan niat untuk meminjamkan atau menitipkan dan mengijinkan pula uang tersebut untuk dipergunakan, asalkan ketika kita membutuhkannya, uang tersebut ada. Atau dengan niat memberikan modal kepada bank dengan mengharapkan agar kita mendapat keuntungan. Karena menurut pendapat beliau  yang diperkuat oleh hasil musyawarah Darul Ifta di Mesir, hal terebut tidak termasuk kepada kategori riba. Untuk lebih jelasnya kami sarankan untuk membaca sumbernya yaitu dalam : “Perspektif Ilmiyah Tentang Halalnya Bunga Bank”  yang disusun oleh guru kami yakni KH. Ahmad Makky Pimpinan Pon-Pes Asslafiyyah Sukabumi.
KESIMPULAN HUKUM BANK KONVENSIONAL DALAM ISLAM
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.
Lalu bagaimana sikap kita setelah mengetahui perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank konvensional tersebut ? Kita bisa memilih salah satu dari pendapat di atas, akan tetapi tentu harus berdasarkan ilmunya (mengetahui dasarnya) dan juga harus konsisten. Artinya jika memilih pendapat bahwa bank konvensional itu haram, maka bagi orang tersebut jangan pernah mendekati bank. Sementara untuk zaman sekarang apakah mungkin hal itu bisa dilakukan ? sementara bank itu sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa terpisahkan, bahkan untuk naik haji saja pasti kita harus berhubungan dengan pihak bank. Oleh karena itu, kenapa kita harus mempersulit diri ? Bukankah ada  pendapat yang menghalalkan bunga bank konvensional ? Justru dengan adanya perbedaan pendapat ini menjadi sebuah rahmat (keni’matan) buat kita. Namun demikian, keputusan terakhir terserah kepada pertimbangan dan keyakinan kita masing-masing.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.
Demikianlah pembahasan singkat tentang riba dan macam-macam riba serta fatwa hukum bunga bank konvensional. Semoga ada manfaatnya.             Amin 
والله اعلم بالصّواب
Referensi :
1. Kh. Ahmad Makky dalam Perspektif Ilmiyah Tentang Halalnya Bunga Bank
2. Artikel Tentang Kontroversi Hukum Bunga Bank Oleh Pon-Pes Al-Khoirot Jawa Timur
3. Pendidikan Agama Islam Untuk Mts dan Ma.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar